My fave music right now

Thursday, January 29, 2009

My Great Dad (Part.II)

Kemaren (27/01) gw nonton film Mr.Magorium's bareng ma Nelly, koko gw si Niko, ko Jerry, dan Aqin a.k.a Novita. Tokoh utama film ini yah si Mr.Magorium yg udah berumur 233/234 tahun gitu. Kalo gak salah inget sih dia lahir tahun 1774 - 2007. (Biasalah. Namanya juga film.)

Si Mister Mag ini berambut putih, tapi tidak berkumis dan berjanggut. Yah gimana image kakek-kakek gitu deh. Meski dia tua, tapi fisiknya masih seperti umur 60-70 tahun gitu. Humoris, penyayang, suka bercanda, etc.

Ntah kenapa gw merasa kalo si Mister Mag ini punya banyak kesamaan sifat dengan almarhum bokap gw. Daddy. Humoris, penyayang, suka bercanda, jahil, usil, tapi bijaksana. Bedanya bokap gw berkulit sawo matang sedangkan si Mister yah kulit putih gitu. Sebagaimana orang Eropa kebanyakan.

Ada satu adegan dimana si Mister Mag sudah tahu bahwa waktunya didunia tinggal beberapa hari lagi. Pengacaranya bertanya "Darimana Anda tahu waktu Anda sudah habis?" dan dia menjawab "Lihat sepasang sepatuku ini. Aku membeli banyak pasang sepatu untuk kupakai sepanjang hidupku. Dan kau tahu, ini adalah sepatu yg terakhir." Dia menjawab seperti tanpa keraguan walaupun sudah tahu bahwa waktunya di dunia akan berakhir. Tapi matanya tidak dapat berbohong. Kedua matanya berkaca-kaca dan hidungnya memerah. Walaupun tidak bersuara, tapi dia menangis dalam hati. Tidak tahu apakah itu kekecewaan karena ia tahu bahwa waktunya tidak lama lagi. Atau kegembiraan karena ia pernah melihat hal-hal indah di dunia dan pernah memiliki orang-orang yg menyayanginya sepenuh hati.

Tapi sayangnya, si pengacara dan orang - orang lainnya hanya menganggap bahwa omongannya hanya sekedar omongan biasa dari mulut orang tua. Yah orang tua yang pesimis akan hidup. Hanya itu. Tidak lebih. Namun dia beruntung karena Mahoney, gadis 23 tahun, dan seorang anak lelaki 9 tahun, membantunya bersenang-senang dan melakukan hal-hal menyenangkan yang ingin dilakukan Mr.Mag sebelum dia pergi untuk selama-lamanya. Mereka bersenang-senang seharian penuh sampai akhirnya Mr.Mag pergi dengan kebahagiaan dihatinya.Mengapa? Karena Mr.Mag menjalani hari terakhirnya di dunia dengan dua orang yg dicintainya dan yg mencintainya.

Lalu bagaimana dengan papaku Daddy? Apakah ia juga tahu kapan ia harus pulang ke rumah Bapa? Apakah keinginan-keinginannya terpenuhi sebelum ia ke Surga? Dan apakah ia menjalani hari terakhirnya dengan orang yg dicintainya? Entahlah. Aku tidak berani memastikan.

Tahun baru terakhir. Tanggal 31 Desember 2007 dan 1 Januari 2008 di Pantai Kuta, Bali.
Kau tahu? Daddy bahkan bertengkar hebat dengan Mommy hanya karena hal yg sepele. Dan malam itu hujan lebat. Sangat lebat (Mendekati badai). Semua orang mengira akan terjadi tsunami. Keadaan di pantai yg pertama sangat gembira penuh dengan tawa dan kembang api berubah menjadi lautan orang yg berusaha menjauh dari pantai. Belum lagi pasir pantai yg berterbangan menyakitkan mata, angin yg sangat kencang, hujan deras yg menyakitkan kepala, dan kegelapan yg benar-benar gelap. Orang-orang berlarian kesana kemari tanpa perduli apa-apa lagi. Ibu berteriak memanggil nama anaknya. Ayah menggendong anak-anak. Teriakan "Ibu! Ayah!" dari mulut anak-anak berdampingan dengan suara ombak yg begitu besar.

Daddy menarik tanganku begitu kuat dan menuntunku berjalan dan aku tidak tahu dimana dan kemana kami berjalan. Yg kutahu Daddy menyelamatkanku. Lalu, aku teringat dengan Mommy. Ketika aku berniat menanyakannya, aku melihat Daddy juga menggandeng tangan Mommy. Sekilas aku melihat sepupuku, Sandra, sudah bersama dengan Ryuta,yg saat itu adalah kekasihnya. Tapi aku tidak menemukan saudara kami yg lain. Kami berteduh di tenda kecil pinggir pantai. Namun keadaan tidak juga membaik. Tenda terlihat akan diterbangkan oleh angin dan kami tetap sangat basah kuyup walaupun sudah berteduh. Aku mengikuti perintah Daddy untuk berjalan sendiri dan berteduh di restauran dan toko-toko yg agak jauh dari pantai. Intinya, aku harus menjauh dari pantai. Aku menarik tangan adik sepupuku, Nesty, untuk ikut bersamaku. Karena kulihat dia sendirian. Sementara Daddy masih membujuk Mommy untuk pergi dari situ. Iya. Mommy masih memikirkan egonya. Ia tidak mau pergi dari situ bersama dengan Daddy. Aku masih bisa mendengar suara Mommy yg memarahi Daddy dengan keras walau aku dan Nesty sudah agak jauh dari tenda.

Kau tahu? Tidak semua orang takut akan Tsunami. Ya. Sewaktu semua orang termasuk aku dan Nesty sedang berusaha menyelamatkan diri dalam kegelapan, seorang sampah masyarakat (Preman) bahkan sempat melecehkan Nesty. Aku yang saat itu sedang dipenuhi amarah (badmood) langsung membentaknya dan berniat untuk melampiaskan semua kekesalanku padanya. Sampah masyarakat itu kaget dan meminta maaf berulang kali dengan mengatakan bahwa ia tidak berniat buruk. Nesty yg berusaha meredamkan amarahku menarik tanganku dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku terus mengoceh karena marah dan begitu sadar aku dan Nesty sudah berteduh di sebuah coffee shop yg sudah tutup. Aku memperhatikan setiap orang yg lewat didepanku. Turis yg membawa keluarga dan troller bayi segera kembali ke hotel mereka. Sedangkan turis yg lain tetap santai saja. Bahkan mereka mabuk-mabukan di jalan sambil berteriak "Happy New Year everybody!". Mata minusku yg tanpa kacamata berusaha untuk mencari sosok kedua orangtuaku diantara lautan orang di tengah kericuhan ini.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Setengah jam berlalu dan akhirnya aku mendengar suara yg sangat kukenal "Nita!". Aku menoleh kebelakang dan melihat ayahku berlari kearahku. Sendirian. "Mana Mami,di?" aku bertanya padanya. Dia meraih tanganku dan menjawab "Kita ke rumah Ryuta dulu. Nita harus di tempat yg aman. Nanti dedi cari mami lagi." Aku panik dan mendesak supaya ia mencari Mommy dulu. Dan akhirnya ia menjawab "Mami ngambek. Tadi dia pergi sendiri gak tau kemana." Aku lemas seketika. Di pikiranku terbayang kalau aku akan kehilangan mami. Mataku mendadak perih dan aku tahu artinya. Daddy menarik tanganku dan kami berlari menuju rumah Ryuta. Sepanjang perjalanan aku hanya melihat keatas agar airmataku tidak jatuh. Aku terus berdoa untuk keselamatan Mommy. Daddy benar-benar ayah yg baik. Selama kami berlari, entah berapa orang mabuk yg berusaha menarikku untuk ikut minum bersama mereka. Untungnya Daddy bersamaku sehingga orang-orang itu tidak menarikku lebih kuat lagi. Sebenarnya aku sempat merasa bahwa bokong dan punggungku dicolek tapi entah oleh siapa. Tapi saat itu aku sudah mati. Mati rasa. Aku bahkan tidak perduli akan jadi apa aku ditengah kekacauan itu. Selama itu pulalah aku pasrah dan akhirnya aku melihat sebuah gerbang besar dan terbuka. Didalamnya ada rumah mewah bernuansa Bali. Wajah-wajah di rumah itu kukenal semua. Sandra, Ryuta, Nesty, tante-tanteku Shirley dan Jeanne. Mereka sedang mengeringkan badan dengan handuk dan meminum secangkir teh hangat. Tanteku Shirley, aku memanggilnya MamaLy, segera memberikan handuk padaku dan menyuruhku minum teh hangat. Ia kemudian memberikan sebuah payung pada Daddy. Daddy segera berlari keluar gerbang. Ia bahkan belum sempat mengeringkan badannya yg sangat basah kuyup ataupun minum secangkir teh hangat. Yg lebih parah lagi, ia bahkan belum mengistirahatkan kakinya yg pastinya sudah sangat kelelahan karena berlari sana-sini mencari Mommy dan aku.

Belum lagi rasa lelahku hilang, aku sudah dicecar berbagai pertanyaan oleh tanteku Jeanne,aku memanggilnya MamaNi. 'Mana mami lu nit?' , 'Kok bisa kalian pencar gini?' , 'Lagi gini ngambek pulak' , 'Lu pun bukannya jaga mami lu' , 'Kenapa kalian biarin dia pergi sendiri' , dan pertanyaan - pertanyaan lain. Aku hanya bisa diam mendengar sambil sesekali menjawab 'gak tau' dan 'entah'. Cangkir teh ditanganku, aku hanya menyeruputnya dua-tiga kali saja. Dalam pikiranku berkecamuk segala kemungkinan termasuk kemungkinan aku akan menjadi anak piatu, anak yatim, atau bahkan anak yatim piatu. Mataku kembali perih dan aku merasa kantung airmataku sudah penuh. Tapi aku menahannya. Aku bukan tipe yg mudah memperlihatkan airmata didepan org. Kalaupun aku akan menangis, aku tidak akan memperlihatkan pada mereka airmata mengalir dari mataku. Mereka cukup melihat mata merahku dan mendengar suara tangisku saja.

Setelah agak lama menunggu, aku melihat Daddy memasuki gerbang sambil memayungi seseorang. Mommy.
Aku segera berdiri dan segera memberikan handukku pada Mommy. Tapi Mommy tidak menghiraukanku seolah tidak melihatku. Aku bertanya padanya namun tidak dijawab. Ia berbicara. Ia menjawab. Ia menerima handuknya. Bahkan ia meminum teh hangat itu.

Dari Sandra. Bukan Aku anaknya.

Aku menanyakan kemana ia pergi tadi tapi ia tidak menjawab sepatah katapun. Aku menanyakan pertanyaan yg lain dan ia tetap tidak menggubris. Lalu aku putus asa dan memberikan handuk dan teh hangat milikku pada Daddy yg ternyata sama sekali belum diberikan handuk dan teh oleh orang lain. Daddy menerima handukku tapi ia tidak mau minum teh hangat. Dia mengatakan agar aku segera menghabiskan teh hangatnya. Aku tersenyum dan meminum teh hangatku sambil melihatnya mengeringkan badan dengan handuk yg sebenarnya sudah sangat basah karena dipakai olehku. Sampai tiba-tiba aku mendengar bentakan Mommy dari arah punggungku. "Lu emang gak pake otak ya nit! Senang lu kan gak punya orang tua didunia!" Tanpa sadar aku meluapkan semua emosiku yg sedari awal kusimpan terus. Aku membalas semua bentakannya dengan suara keras juga dan airmata yg tidak bisa lagi kutahan pun keluar. Aku benar-benar sangat kacau saat itu. Di satu sisi, aku senang karena aku tidak yatim piatu. Di sisi lain, aku malu karena dimarah didepan semua orang bahkan di depan Ryuta, orang luar yg hanya kekasih sepupuku, dan aku juga malu karena menangis keras-keras di depan semua orang. Dan di sisi lainnya, aku sangat marah karena merasa tidak ada yg perduli padaku. Mommy dan aku terus bertengkar dan kami membentak satu sama lain sambil menangis. Daddy memaksaku untuk minta maaf. Tapi gengsiku lah yg menang. Aku tidak mau. Sampai akhirnya aku sadar bahwa apapun yg aku katakan saat itu, aku tetap salah di hadapan Daddy walaupun dia tahu kalau aku tidak salah. Aku menjulurkan tanganku dan Mommy tidak menanggapi. Mommy masuk ke mobil sambil tetap memaki-maki aku disertai dengan sumpah serapah. Aku berusaha menutup telingaku dengan handuk.Selama perjalanan pulang, Mommy dan aku tidak saling berbicara satu sama lain. Bahkan candaan dari Sandra dan Nesty tidak mempengaruhi kami untuk tertawa. Aku diam. Mommy diam.
Daddy? Dia berbisik terus padaku agar aku minta maaf dan mengalah.

Sesampainya di rumah MamaLy, aku segera menghampiri Mommy untuk minta maaf sekali lagi. Mommy tetap menyumpahiku dan memaki. Aku tidak membalasnya dan terus berkata 'Sorry, Mam.' sampai akhirnya Mommy memelukku sambil menangis dan mengatakan kalau dia sempat berusaha untuk bunuh diri di pantai dengan menceburkan diri di pantai dalam keadaan ombak tinggi seperti tadi. Daddy kemudian menyuruh kami untuk segera ganti baju dan tidur. Sementara ia tidur di luar kamar. Di lantai. Beralaskan kain tipis. Tanpa bantal dan guling. Jelas tanpa selimut.



13 April 2008.
Ulang tahun Daddy yg ke-53. Tiap tahun, di keluargaku (Mommy, Daddy, dan aku tentunya) punya tradisi untuk berdoa bertiga sekeluarga bersama-sama saat jam 00.00 tepat untuk orang yg berulang tahun. Namun kali ini, Daddy merayakan ultah tidak bersama kami di Medan. Melainkan di Batam bersama dengan guru-guru sekolah kecil milik ayahku, CPC.

Sekolah ini dibentuk ayahku untuk menolong penduduk yang kurang mampu di lingkungan itu. Ya. Sekolah untuk anak-anak buruh pabrik yg tidak mampu membayar uang sekolah di swasta maupun negeri. Untuk masuk sekolah negeri saja mereka harus membayar uang pembangunan minimal Rp 1.000.000 padahal gaji seorang buruh pabrik hanya sekitar Rp 800.000-an saja. Bagaimana dengan uang beras mereka? Pakaian? Tempat tinggal? Lalu bagaimana dengan anak-anak tukang bangunan yg tidak pasti kerjaannya. Mereka bekerja jika sedang ada proyek pembangunan. Namun di masa krisis seperti ini, sangat sulit untuk mendapatkan proyek yg artinya mereka MENGANGGUR. Lalu anak-anak mereka? Jangankan untuk bersekolah, untuk biaya makan saja mereka harus berpikir beribu-ribu kali.

Bukannya aku ingin mempromosikan sekolah ini ataupun ingin menyombongkan diri (karena aku tidak mempunyai apapun yg dapat disombongkan disini), tapi ayahku tidak memungut biaya pembangunan seperak pun dari mereka. Meja, kursi, lampu, air, bahkan buku tulis dan buku cetak kami siapkan dari sekolah. Yang perlu mereka bayar hanyalah uang sekolah Rp 35.000 sampai Rp 60.000 sebulan. Namun kami tetap ingin agar anak-anak dari sekolah kecil ini tidak kalah dengan sekolah elite lainnya. Ayahku membeli komputer untuk mereka bahkan membelikan banyak software pendidikan agar dipakai para murid Sekolah Dasar. Sedangkan untuk Taman Kanak-Kanak disiapkan sebuah komputer mini menyerupai laptop agar mereka tahu dasar-dasar penggunaan komputer. Mereka diajari mengedit gambar di komputer bahkan belajar berbagai bahasa (seperti Mandarin dan Inggris) juga internet.

Tapi masalah demi masalah bermunculan. Tempat ini sangat kumuh dan jalannya sangat rusak. Jika hujan datang, maka jalan yg masih tanah merah itu akan longsor sehingga orang - orang tidak akan bisa melewati jalan itu. Para orang tua murid mengkhawatirkan anak-anak mereka setiap kali mereka melewati jalan pulang itu. Lalu ayahku berinisiatif membuat parit kecil dan jembatan disitu. Dia juga mendaki ke bukit (sekolah kami dekat dengan bukit, danau, dan jurang tentunya) sendirian untuk mengambil batu-batu. Dia tidak perduli betapa bau dan kotornya dia setiap kali dia masuk ke parit untuk membersihkan sampah-sampah yg menyumbat agar tidak terjadi banjir. Untuk menghemat biaya (karena harga barang sangat mahal di Batam) dia memintaku untuk selalu membawa buku-buku, seragam sekolah, bahkan makanan dan sayuran mentah dari Medan untuk dibawa ke Batam. Kau tahu, aku seperti seorang kuli bangunan jika akan berangkat ke Batam. Aku selalu merasa malu karena sebagai seorang gadis, aku seperti ibu-ibu (di Medan dinamakan dengan inang-inang) yg membawa barang bawaan demikian banyak dan berat. Jangan bandingkan aku dengan gadis lainnya yg juga berangkat bahkan satu pesawat denganku. Mereka membawa handbag dan laptop. Paling juga hanya koper kecil dan bungkusan makanan kecil. Sedangkan aku, mendorong trolly (bahkan jika sedang sial aku membawa barang-barang itu sendirian) penuh dengan barang-barang yg saat itu selalu kusebut dengan SAMPAH. Aku membayar over-limit bagasi sampai Rp 80.000 bahkan pernah aku membayar Rp 200.000 hanya untuk SAMPAH itu.

Aku tidak menyadari bahwa betapa pentingnya SAMPAH itu bagi murid-murid itu. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah gubug jelek dipinggir jurang dengan jalan yg sangat sempit dan rusak (berkebalikan dengan keadaan rumahku di Medan), aku merasakan tatapan dari banyak anak murid di sekolah itu. Aku masih kesal dengan SAMPAH itu dan tidak perduli dengan mereka. Di pikiranku hanyalah kekesalan karena aku sudah seperti seorang kuli bangunan. Namun semua rasa itu hilang begitu melihat anak-anak itu saling memperebutkan buku-buku yg baru kubawa dan mereka segera membongkar dengan penuh rasa ingin tahu ke SAMPAH tadi. Mereka menggunakan berbagai bahasa yg semuanya tidak kumengerti. Tapi aku tahu, mereka pasti sangat senang dengan SAMPAH yg kubawa tadi. Aku kemudian bertanya ke salah satu guru disitu, apa bahasa yg mereka gunakan. Dia mengatakan bahwa di tempat itu banyak orang-orang pendatang yg dulunya merupakan pelarian dari kota besar lain. Tidak mengherankan jika banyak ditemukan orang Melayu, orang Flores, orang Batak, orang Cina, orang Palembang, orang Ambon, orang Pontianak, orang Dayak, bahkan orang Papua disini. Pendahulu mereka dulunya bekerja di kapal untuk mengangkut barang dari Batam. Namun sejak dibuka Batam - Singapura, mereka kehilangan mata pencaharian bahkan mereka diusir dari rumah mereka dengan alasan Pembangunan Wilayah oleh Pemerintah. Mereka yg tidak mempunyai siapa-siapa lagi kemudian membuat RuLi "Rumah Liar" yg artinya membuat rumah di tanah yg tidak tahu siapa pemiliknya. Entah pemerintah. Entah masyarakat. Risiko RuLi ini sangat besar, sewaktu-waktu mereka bisa diusir dari rumah yg mereka bangun sendiri dengan susah payah. Dan penggusuran ini selalu dilakukan dengan kasar tanpa toleransi sedikitpun. Barang-barang dalam rumah mereka bahkan diambil dan dihancurkan. Padahal mereka bekerja keras, benar-benar SANGAT KERAS, walau hanya untuk mendapatkan makanan secukupnya. Dengan keadaan seperti ini, banyak orang tua yg menganggap bahwa sekolah itu tidak perlu. Yg perlu hanyalah BEKERJA MENCARI UANG. UANG. UANG. DAN UANG. Guru yg kuketahui namanya Jelita itu, juga menceritakan bagaimana perjuangan mereka menjelaskan ke masyarakat sekitar betapa pentingnya sekolah terutama Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Sampai akhirnya mereka berhasil meyakinkan beberapa orang dan sekarang murid mereka mencapai 40 anak. Jumlah yg mengesankan untuk sebuah wilayah sangat miskin.

Aku mendengarkan semua cerita dan sejarah sekolah ini sampai terkesima. Sejak itu, setiap kali aku ke Batam, ataupun hanya untuk transit (karena tujuanku adalah Singapura) aku pasti menyempatkan diri untuk membawa beberapa buku dan seragam sekolah. Aku bahkan pernah membawa kasur dan selimut dari Medan begitu mengetahui bahwa para guru tidur di sekolah dengan hanya beralaskan kain tipis tanpa bantal dan guling. Aku pernah mencoba tidur bersama mereka. Dan kau tahu? Hanya satu jam aku bertahan tidur di lantai itu. Bagaimana mungkin aku yg phobia kecoak ini bisa tidur dengan kecoak melintas lalu lalang di dekat kakiku. Dan bagaimana mungkin aku bisa tenang tidur dengan mata tikus yg mengintip dibalik kain. Belum lagi gangguan nyamuk yg tidak habis-habisnya karena jendela ruangan itu hanya ditutupi dengan kain (belum ada kaca jendela).

Sejak itulah, aku mulai memperhatikan keadaan sekolah di Batam ini. Dan aku bersyukur aku mempunyai mata pencaharianku sendiri meski aku masih duduk di bangku SMA (saat itu aku masih kelas dua). Aku membayar uang pembangunan dan uang sekolahku sendiri dari hasil keringatku sendiri. Oke. Biayanya memang cukup besar (lebih dari Rp 1.000.000) sampai-sampai Mommy sempat mencurigaiku bekerja yg 'tidak-tidak'. Oh my god!

Sekolah akhirnya berkembang menjadi lebih baik dan mempunyai banyak murid (sekitar 40 anak). Perlu diketahui bahwa uang sekolah anak-anak yg sebesar Rp 60.000 itu digunakan untuk gaji guru-guru tersebut.

...read the next posting: My Great Dad (Part.III)...